Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi Tambang batu bara PT ABS, Ini Tanggapan Kuasa hukum Endre Syaifoel, “Lahan masyarakat Telah Dibebaskan”

Blog72 Dilihat

Palembang, Fakta news.com

Sidang lanjutan dugaan korupsi pengelolaan pertambangan batu bara di lahan PT Bukit Asam (PT BA) pada periode 2010 – 2014, diadakan kembali di pengadilan negeri Palembang, Jumat (21/02/2025).

Sidang lanjutan tersebut dipimpin oleh ketua majelis Hakim Fauzi Isra SH, MH, serta dihadiri oleh jaksa penuntut umum (JPU ) kejaksaan tinggi Sumsel.

Dalam sidang kali ini menghadirkan 3 saksi ahli untuk ahli kerusakan tanah dan lingkungan prof.Basuki Wasis, ahli hukum pidana prof. Surono, SH.MH, Ahli hukum lingkungan Dr H.Ahmad Kholidin ,SH.MH,

Dikesaksiannya para ahli membeberkan tentang pasal – pasal yang menyangkut kerusakan lingkungan karena disebabkan oleh adanya penambangan batu bara seperti halnya yang terjadi dalam kasus tersebut.

ahli menjelaskan bahwa, “Ahli kerusakan tanah dan lingkungan, Prof. Basuki Wasis, yang dihadirkan oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumsel, menjelaskan bahwa aktivitas tersebut telah menyebabkan kerusakan serius terhadap lingkungan.

Dalam persidangan, Prof. Basuki mengungkapkan bahwa dirinya pernah turun langsung ke lokasi tambang untuk melakukan analisis atas permintaan Kejati Sumsel. Hasil temuannya menunjukkan adanya kerusakan tanah dan lingkungan di beberapa titik akibat kegiatan pertambangan ilegal. Menurutnya, dampak dari aktivitas tersebut dapat menimbulkan erosi dan merusak ekosistem.

“Setibanya di lokasi, saya melakukan analisa sesuai dengan keahlian saya. Dari pengamatan saya, ada kerusakan tanah dan lingkungan di beberapa titik yang berpotensi merugikan negara,” ungkap Prof. Basuki di hadapan majelis hakim yang diketuai Fauzi Isra, SH, MH.

Dalam penjelasan ahli tersebut bahwa undang-undang, kerusakan tanah akibat aktivitas pertambangan ilegal harus dilakukan pemulihan melalui proses reklamasi guna mengembalikan fungsi tanah yang rusak. Namun, dalam kasus ini, proses reklamasi tidak dilakukan, sehingga berdampak pada lingkungan sekitar.

Lebih lanjut, Prof. Basuki merinci kerugian negara yang ditimbulkan akibat aktivitas tambang ilegal tersebut. Kerugian ekologis akibat erosi dan kerusakan tanah mencapai Rp 2 miliar, sedangkan dampak terhadap ekosistem yang mengakibatkan berkurangnya populasi fauna mencapai Rp3 miliar.

Selain itu, kerugian lingkungan diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 miliar, dengan biaya pemulihan yang diperlukan mencapai Rp1,4 miliar. “Jika ditotal, nilai kerusakan ekosistem akibat penambangan batu bara ilegal ini mencapai Rp6,2 miliar,” jelas ahli merincikan.

Dalam persidangan, selain Prof. Basuki, JPU Kejati Sumsel juga menghadirkan dua ahli lainnya, yakni Prof. Agus Surono, SH, MH sebagai ahli hukum pidana serta Dr. H. Ahmad Holidin, SH, MH sebagai ahli hukum lingkungan.

Kasus ini menjerat enam orang terdakwa, yang terdiri dari tiga petinggi PT Andalas Bara Sejahtera, yakni Endre Saifoel, Gusnadi, dan Budiman, serta tiga mantan petinggi Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Lahat, yaitu Misri, Saifullah Aprianto, dan Lepy Desmianti.

Para terdakwa diduga melakukan aktivitas pertambangan di luar wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) mereka dan masuk ke dalam area IUP OP milik PT Bukit Asam Tbk, yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akibat perbuatannya, para terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam kesempatan akhir sidang terdakwa Endre Syaifoel, melalui kuasa hukumnya Eko Prayitno, SH. MH mengungkapkan bahwasanya, “Dari persidangan hari ini berdasarkan saksi yang dihadirkan oleh jaksa memang ada beberapa hal yg kurang di pahami, Karena setiap pertanyaan kami atau dari pertanyaan PH ini tidak disambung dengan baik,”keluhnya.

“Tapi ada beberapa poin yang kami tidak pahami bahwasanya dari awal memang klien kami ini swasta dan bukan seorang pegawai negeri sehingga kami juga melihat dari beberapa tadi disampaikan bahwa nilai kerusakan itu dilihat juga sebagai nilai kerugian dari negara di keuangan dan terlihat dari beberapa koridor yang sudah kami bebaskan artinya permasalahannya adalah yang dianggap selama ini ternyata sudah kami bebaskan, jadi bagian ini sebenarnya milik warga yang sudah berbicara bahwa Tanah ini milik negara tapi berkeyakinan juga diantaranya pembebasan lahan dan beberapa pasal yang disampaikan seperti contohnya pasal 2 pasal 3 terkait wewenang klien Kami swasta tidak memiliki wewenang untuk membuat iup dan mengubah titik koordinat.

“Dan klien kami endre Syaifoel melakukan permohonan perizinan iup pembebasan itu telah sesuai prosedur yang dilakukan. Ini juga mendapat itu kan jadi secara sket yang bisa saya sampaikan saat ini bahwa dokumen-dokumen tersebut, kita terima dari pemerintah karena kita diikutsertakan dalam permasalahan titik koordinat yang bergeser titik koordinat itu memang ada di dalam yang dianggap koridor yang sudah kami bebaskan.

Koordinat yang kedua ini yang kami yakini milik kami dan bahkan kami dapat perpanjang IUP ditahun 2014, perpanjang oleh PT ABS, perpanjangan itu diterima pada saat titik koordinat itu memang berdampingan dengan PT BA, jadi tidak ada koridor .

Namun jaksa berkeyakinan bahwa titik koordinatnya yang valid yang awal yang ada koridor sedangkan yang dianggap koridor ini informasi dari klien kami pak endre sudah dibebaskan jadi ini bukan milik negara lagi.

Karena sekali lagi ini juga sudah ada solusi, dua kali dari dua titik koordinat di dua titik koordinat. Koordinat yang kedua ini yang kami yakini milik kami  dan bahkan kami dapat perpanjang, kami perpanjang oleh pak endre.. perpanjangan itu diterima pada saat titik koordinat itu memang berdampingan dengan PT BA, jadi tidak ada koridor . Namun jaksa berkeyakinan bahwa titik koordinatnya yang valid yang awal yang ada koridor sedangkan yang dianggap koridor ini informasi dari klien kami pak endre Syaifoel, sudah dibebaskan jadi ini bukan milik negara lagi, milik klien yang pertama,”beberapa Eko Prayitno,SH.MH.

2009 sudah dibebaskan sehingga kami berkeyakinan atau berpandangan ini bukan milik negara dan tidak ada nilai kerugian negara yang timbul dari penambangan di wilayah koridor,”jelas Eko Prayitno,SH.MH.

Eko Prayitno,SH.MH, juga menambahkan “Saya tambahkan ada dua permasalahan di sini, pertama lahannya PTBA ditambang oleh PT ABS. Yang kedua dibilang koridor itu ternyata tanah masyarakat,  dibebaskan oleh klien kami,  jadi ada dua koridor itu tadi. koridor itu sebenarnya sudah koordinatnya sudah diukur oleh PTBA sehingga lahan itu milik kami,  jadi kalau milik kami bukan berarti kerugian negara kecuali kalau milik negara,  karena apa Karena kita yang membebaskan lahan itu kepada masyarakat kalau yang PT BA itu ABS yang melakukan penambangan pertama pembelian itu pembebasannya melalui masyarakat tapi itu PTBA ya bukan ABS cuma dia dulu sebagai direktur PTBA juga direktur PT ABS sedangkan PT ABS sendiri tidak tahu ada penambangan di lahan koridor.

Padahal apa PTBA sendiri belum membebaskan dia memiliki ijin produksi cuman belum dibebaskan jadi orang lain yang bebaskan tapi milik PTBA iup NYa .. iup nya milik PTBA di lahannya oleh BCS.

Eko Prayitno, SH.MH. juga berpesan, “Kalau harapannya sih semuanya objektif lah dalam memberi keterangan beri kesempatan juga kepada tiap-tiap yang merasa benar itu dinyatakan benar kalau memang salah ya dinyatakan salah,”tutup Eko Prayitno,SH.MH.

 

(jovi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *